Sajogyo. 2006. Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi. Bogor (ID): Sajogyo Institute, Cindelaras, Bina Desa.
Pengembaraan Ilmu mencari kebenaran oleh Max Weber disebut sebagai proses pembebasan diri dari cengkeraman kutukan dunia yang menjelaskan usaha pencarian akan pengetahuan objektif yang tidak dipenjarakan oleh kebijakan atau ideologi tertentu. Prof. Dr. Ir. Sajogyo mengenalkan kepada kita istilah Ekososiologi yang menjadi judul buku dari kompilasi artikel-artikelnya dan berusaha menjelaskan apa yang dikatakan oleh Weber diatas, beliau mencari kejelasan akan realita kehidupan manusia yang melangsungkan dan mengembangkan dirinya dengan melestarikan dan memanfaatkan ekosistem sosialnya. Ekososiologi adalah sosiologi dalam artian luas. Ekososiologi tidak terbatas pada relasi dengan ekonomi, juga tidak terbatas dengan ekologi, tetapi ekosistem hummana dan natural dimana ekonomi dan ekologi dapat menjadi dominan. Ekososiologi adalah sosiologi yang diterapkan, di-konteks-kan dan berbahan baku ekosistem hummana dan natural, sehingga ber-ekososiologi dibutuhkan sifat ilmu yang transdisipliner dan multidisipliner.
Ekososiologi mencerminkan kerangka pemikiran Guru Besar Sajogyo, kalau sosiologi terapan lebih mendekati ilmu sosial dari sudut pandang sifatnya, maka ekososiologi lebih mendekatinya dari sudut pandang inti/nature-nya. Mengapa pencarian kebenaran atau ilmu yang cocok dengan realita menjadi penting. Jawabanya, bukan sekedar pemuasan keingintahuan kita, akan tetapi adalah sebuah adagium bahwa ilmu yang cocok itu adalah ilmu yang berguna. Kajian sosial yang relevan atau berguna untuk siapa? Manusia yang selama ini dibutakan mata hatinya agar jangan sampai tahu realita. Dengan paham realita manusia akan tidak mudah ditipu, ditindas, dipermiskinan dan dimarginalisasikan. Manusia yang masuk dalam golongan ini adalah para petani gurem, nelayan kecil, buruh pabrik dan sebagainya. Merekalah, menurut Guru Besar Sajogyo yang harus ditulari ilmu yang cocok dengan realita tersebut sehingga ilmu itu menjadi berguna buat mereka.
Pencarian ilmu yang multidisipliner, interdisipliner dan juga cocok dengan realitanya itulah yang klop dengan tuntutan etika tradisional “ngelmu iku kalakone kanthi laku” (Ilmu itu terbentuk karena praktek, aksi dan perbuatan) sebagaimana yang dihadapi Guru Besar Sajogyo dalam pengembaraannya selama separuh abad lebih sebagai “dari praktek ke teori dan ke praktik yang berteori” disini terjadi hubungan dialektika yang tak pernah terhenti antara teori dan praktik, atau praktik dan teori. Dalam terang penghayatan itu, maka agar tetap cocok dengan realita ilmu dan teori sebagai bangunan pokok ilmu haruslah di-indeologisasi-kan. Setelah bebas dari ideologi bukan berarti ilmu dan teori itu lantas menjadi netral dan bebas, akan tetapi tidak berpihak pada siapa-siapa namun harus tetap berpihak kepada realita. Melalui buah pikir Guru Besar sajogyo yang tersaji dalam buku ini, para pembaca akan diajak menelusuri zuhud kecendikiawannya. Bagi beliau, ilmu bukanlah previlege namun milik yang mesti diabadikan dan diamalkan untuk dan dalam masyarakat.